Sabtu, November 27

Screening ROP Cegah Kebutaan Bayi Prematur

KEMAJUAN teknologi dalam bidang neonatalogi (perawatan bayi baru lahir) berdampak positif dengan menurunnya angka kematian bayi prematur maupun bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Sayangnya, seiring dengan itu, masalah baru berpotensi muncul. Yakni, meningkatnya angka kebutaan bayi akibat retinopati prematuritas (ROP).


ROP merupakan salah satu jenis kebutaan yang kerap terjadi pada bayi prematur atau BBLR (kurang dari 2.500 gram). Kejadian ROP berhubungan dengan belum sempurnanya mata bayi prematur/ BBLR. Menurut guru besar bidang ilmu kesehatan mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof dr Rita Sita Sitorus SpM, saat ini diperkirakan ada 80.000 anak buta di Indonesia. Hasil studi berbasis sekolah untuk anak-anak buta di Jawa menunjukkan prevalensi ROP adalah 1,1% dari seluruh penyebab kebutaan. 
“Dikhawatirkan, angka itu akan meningkat seiring dengan keberhasilan bidang neonatalogi dalam menekan angka kematian bayi prematur,” ujar Rita pada acara pengukuhannya sebagai guru besar FKUI di Jakarta, beberapa waktu lalu. Mengapa demikian? Rita menjelaskan, kematian bayi pada bulan pertama kehidupan (neonatus) menyumbang 2/3 dari kematian bayi. Prematuritas/BBLR menjadi satu dari tiga penyebab kematian pada kelompok neonatus selain gagal nafas dan infeksi.
Saat ini penurunan angka kematian bayi menjadi target keempat tujuan pembangunan milenium (MDGs). Dengan tercapainya target itu pada 2015, berarti semakin banyak bayi lahir prematur yang bisa diselamatkan dari kematian. “Bila hal itu tidak diiringi antisipasi, keberhasilan menekan angka kematian bayi lahir prematur itu akan diikuti dengan peningkatan jumlah anak yang buta karena ROP,” jelas Rita. Antisipasi apa yang perlu dilakukan? Menurut Rita, kebutaan karena ROP bisa dicegah dengan melakukan deteksi dini dan terapi yang tepat pada rentang waktu tertentu.
Melalui kegiatan National ROP Workshop pada 2009 yang diikuti 20 RSUD dan beberapa RS swasta dari 17 provinsi, diketahui hanya 20% institusi kesehatan yang telah melakukan program screening ROP. Sisa nya belum melakukan karena terkendala sumber daya manusia, sarana prasarana, dan ketidaktahuan. Padahal, biaya pembentukan satu program standar screening ROP dalam satu institusi relatif tidak mahal. Untuk membeli instrumen pemeriksaan screening dibutuhkan sekitar Rp50 juta. Sementara itu, biaya sarana penanganan ROP, yaitu pembelian laser dan instrumen lain, sekitar Rp500 juta. “Para pemegang kebijakan kesehatan tingkat nasional sudah sepatutnya menaruh perhatian besar terhadap hal ini sehingga pada pencapaian MDG-4 nantinya akan diperoleh anak Indonesia dengan fungsi penglihatan yang baik,” pungkas Rita.

Rabu, 3 November 2010, Media Indonesia, Segmen Bacaan "Kesehatan"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar